20 Februari 2011

Program BOS Solok Selatan

MENYUKSESKAN WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN
DENGAN PROGRAM BOS DI KABUPATEN SOLOK SELATAN1
Oleh : HERWIN, ST2

I. PENDAHULUAN

Era globalisasi menuntut setiap negara harus siap dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan tangguh. Globalisasi ekonomi akan menjadi media revolusi manusia di mana terjadi seleksi alam terhadap manusia berdasarkan daya tahannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Elfindri (2001;25) mengatakan bahwa globalisasi ekonomi menuntut perlunya penyesuaian sumber daya manusia yang dapat memenuhi tuntutan tenaga kerja yang mendunia. Konsekwensi dari tuntutan tenaga kerja yang mendunia adalah harus membekali setiap individu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga siap berinteraksi dengan pelaku ekonomi dari negara manapun dan berkomunikasi dengan bahasa internasional, minimal bahasa Inggeris.

“Nilai modal manusia (human capital) suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh jumlah populasi penduduk atau tenaga kerja pasar (labour intensif), tetapi sangat ditentukan oleh tenaga kerja intelektual (brain intensif)” (Fattah, 2000)

Pendidikan dasar merupakan faktor vital dalam penyiapan sumber daya manusia yang handal. Pada jenjang ini peserta didik dibekali dengan ilmu pengetahuan dasar sebagai modal awal untuk pengembangan kepada ilmu lanjutan. Dalam Elfindri (2008;227-228) dinyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan terget dari MDGs (Milenium Development Goals) 2015 dan gerakan EFA (Education For All). Kementerian Pendidikan Nasional dalam menyusun strategi dan arah kebijakan pembangunan nasional (Kemdiknas, 2010), disamping mengacu kepada visi, misi dan tujuan serta evaluasi capaian pembangunan pendidikan, juga memperhatikan komitmen pemerintah terhadap konvensi internasional mengenai pendidikan, khususnya Konvensi Dakkar tentang EFA, Konvensi Hak Anak, MDGs, serta World Summit on Sustainable Development. Bapppenas (2010;1) menguraikan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), poin kedua adalah “Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua”. Diibaratkan sebuah bangunan, manakala tidak diawali dengan sebuah pondasi yang kokoh maka bangunan tersebut akan menjadi sebuah bangunan yang rapuh, mudah runtuh oleh sedikit goncangan saja. Demikian pula dengan pendidikan, tanpa diawali dengan pendidikan dasar yang layak maka peserta didik akan dilanda kebingungan untuk menyerap ilmu yang lebih tinggi, dan mereka tidak akan siap untuk berinteraksi dengan kehidupan di era globalisasi. Oleh karena itu “pendidikan dasar untuk semua” ini seyogyanya tidak hanya ditekankan kepada kuantitas, namun harus diperhatikan juga kualitasnya.

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diluncurkan sejak tahun 2005 sebagai wujud dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) di bidang pendidikan menyusul kenaikan harga BBM merupakan salah satu bentuk antisipasi pemerintah dalam menghadapi era globalisasi. Dengan program ini diharapkan dapat mengatasi penurunan minat masyarakat terhadap pendidikan anak sebagai dampak susahnya perekonomian akibat kenaikan harga bahan pokok.

Sejalan dengan Pemerintah Pusat, di Kabupaten Solok Selatan semenjak tahun 2005 telah pula disalurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke sekolah-sekolah penerimanya. Masyarakat Solok Selatan tentu saja menaruh harapan yang tinggi terhadap dana bantuan ini mengingat tujuannya yang berimplikasi kepada pengurangan biaya pendidikan di rumah tangga. Apakah dana BOS benar-benar telah mampu meningkatkan minat masyarakat kepada pendidikan? Sukseskah Wajib Belajar Sembilan Tahun di Solok Selatan dengan dana BOS?

II. RASIONAL PROGRAM

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada hakekatnya merupakan pengamalan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 34 ayat 2 yang berbunyi “(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”. Dari kedua ayat tersebut tersirat makna bahwa sesungguhnya pada tahap pendidikan dasar pemerintah harus membebaskan orang tua siswa dari semua beban biaya pendidikan. Pada pasal 6 dibunyikan “(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar; (2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Dengan demikian kewajiban pemerintah membebaskan biaya pemerintah secara penuh adalah sampai jenjang SLTP (Wajib Belajar Sembilan Tahun).

Dari Kintamani(2008), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan salah satu indikator pencapaian pembangunan sumber daya manusia memasukkan angka melek huruf (AMH) dan Angka Partisipasi Kasar gabungan (APK gabungan) sebagai variabelnya. Kedua variabel ini memiliki korelasi yang tinggi dengan minat masyarakat terhadap pendidikan anak. APK yang merupakan persentase jumlah siswa dengan jumlah penduduk usia sekolah mengindikasikan besarnya minat masyarakat terhadap pendidikan anak.

Susahnya perekonomian akibat krisis membuat mundurnya konsentrasi masyarakat kepada pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu “pangan, sandang dan papan". Pendidikan anak yang merupakan sumber pengeluaran menjadi prioritas yang tidak begitu penting. Dalam masyarakat petani dan buruh, anak merupakan modal penting untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, karena si anak bisa membantu orang tua dalam mencari nafkah dengan membantu pekerjaan yang ringan-ringan. Sementara pendidikan justru akan mengurangi pendapatan mereka bahkan akan sangat merepotkan karena biaya yang sangat tinggi.

“....Nilai waktu bagi anak yang berasal dari keluarga miskin lebih tinggi dibandingkan dengan nilai waktu bagi seseorang anak yang berasal dari keluarga mampu. ....” (Elfindri, 2001;76)

Tantangan inilah yang dicoba-jawab oleh pemerintah dengan men-sosialisasikan pendidikan gratis lewat dana BOS. “Secara umum Program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu” (Kemdiknas, 2010)

Besaran dana bantuan adalah berdasarkan jumlah siswa. Pada tahun 2005, besarnya dana yang di terima sekolah adalah dengan alokasi sebesar Rp. 235.000,- per tahun per siswa tingkat SD dan Rp. 324.500,- per tahun per siswa tingkat SMP. Alokasi per siswa tersebut ditetapkan berdasarkan perhitungan biaya pendidikan yang diolah dari Susenas 2004.

Satuan biaya BOS ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun semenjak 2005, sehingga pada tahun 2009 dan 2010 besar biaya satuan BOS per tahunnya adalah sebesar (Kemdiknas, 2010):

1. SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-/siswa

2. SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,-/siswa

3. SMP/SMPLB/SMPT di kota : Rp 575.000,-/siswa

4. SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,-/siswa

Peningkatan satuan biaya BOS yang signifikan ditujukan supaya peserta didik pada tingkat pendidikan dasar betul-betul dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan nyaman dan dengan mutu pendidikan yang layak sehingga mereka menjadi lulusan bernilai jual. Ini senada dengan Sunarti (2007) yang mengatakan bahwa kualitas pendidikan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya biaya pendidikan.

Semenjak dikucurkannya dana BOS pada tahun 2005, tujuannya adalah membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun. Namun kenyataan di lapangan banyak sekali keluhan dari orang tua murid tentang pungutan-pungutan dari sekolah penerima dana BOS yang dikaitkan dengan kelangsungan belajar anaknya. Dengan dipenuhinya kebutuhan oleh pemerintah atas item-item penting, tidak membuat pihak sekolah menghentikan pungutan terhadap siswa, melainkan mencari alasan lain yang pada hakikatnya hanyalah sebagai upaya peningkatan mutu fisik sekolah yang sebetulnya merupakan tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah. Bahkan tidak jarang sekolah yang terkesan menggunakan dana BOS untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan pihak-pihak tertentu. Menurut Elfindri (2008;208), terdapat dua persoalan utama, yaitu : 1) sosialisasi aturan main penggunaan BOS belum lengkap, dan 2) adanya pemahaman bahwa dana BOS adalah digunakan untuk menambah honor guru.

Maka seiring ditingkatkannya kesejahteraan guru PNS dan dana BOS pada tahun 2009, pemerintah membuat peraturan bahwa semua SD dan SMP harus membebaskan siswa dari operasi sekolah, kecuali RSBI dan SBI. Dilarang memungut dana apapun dari siswa miskin, dan pungutan berlebihan terhadap siswa mampu. Kekurangan biaya operasi sekolah wajib dipenuhi oleh Pemda dari APBD. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Pasal 22 membebankan pendanaan biaya pendidikan non personalia kepada partisipasi masyarakat hanya untuk satuan pendidikan yang bukan pelaksana program wajib belajar.

III. FOKUS DAN PELAKSANAAN PROGRAM BOS

Secara khusus program BOS bertujuan untuk : (1) Menggratiskan seluruh siswa SD Negeri dan SMP Negeri dari biaya operasi sekolah, kecuali pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI); (2) Menggratiskan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta; dan (3) Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta (Kemdiknas, 2010)

Pada awal peluncurannya tahun 2005, dana BOS boleh digunakan untuk : (1) Uang formulir pendaftaran; (2) Buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan; (3) Biaya peningkatan mutu guru (MGMP, MKKS, pelatihan, dll); (4) Ujian sekolah, ulangan umum bersama, dan ulangan harian; (5) Membeli bahan-bahan habis pakai misalnya buku tulis, kapur tulis, pensil, bahan praktikum; (6) Membayar biaya perawatan ringan; (7) Membayar daya dan jasa; (8) Membayar honorarium guru dan tenaga pendidikan honorer; (9) Membiayai kegiatan kesiswaan (remedial, pengayaan, ekstrakurikuler); (10) Memberi bantuan siswa miskin untuk biaya transportasi; (11) Khusus untuk salafiyah dan sekolah keagamaan non-Islam, dana BOS juga diperkenankan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli peralatan ibadah.

Pada awalnya pengelolaan BOS merupakan kerjasama antara Depdiknas dengan Departemen Agama (Depag). Semenjak 2007 Depdiknas dan Depag menjalankan programnya sendiri-sendiri, sehingga untuk pengelola BOS di Dinas Pendidikan poin nomor 11 dihilangkan. Disamping itu, seiring dengan pengalaman-pengalaman serta masukan dari daerah, aturan penggunaan dana BOS mengalami perubahan-perubahan untuk sempurnanya penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan Tahun dan menghindari penyalahgunaan dana di pihak sekolah. Perubahan-perubahan pada umumnya memberikan kemudahan kepada pengelola dana di sekolah, sehingga mereka dapat menggunakan dana tanpa harus melakukan rekayasa terhadap laporan pertanggungjawaban. Misalnya : dibolehkan menggunakan dana BOS untuk membeli bahan konsumsi seadanya, insentif bendahara, pembelian komputer, dan lain-lain.

Tentu saja hal ini bisa diterima sepanjang tidak mengurangi peruntukan bagi penyelenggaraan proses belajar mengajar sebagaimana termaktub dalam Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu seyogyanya Pemerintah Daerah membuat aturan batasan maksimum yang dibolehkan untuk operasional serta pemberian uang lelah pendidik melalui dana BOS. “Pembiayaan pendidikan tidak hanya menyangkut analisa sumber-sumber saja tetapi juga penggunaan dana secara efisien. Makin efisien dana pada sistem pendidikan itu maka berkurang pula dana yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuannya, oleh karena itu dengan efisiensi akan lebih banyak tujuan program yang dicapai dengan anggaran yang tersedia.” (Zymelman, 1975 sebagaimana Sunarti, 2007)

Untuk menuntun Tim Manajemen BOS di sekolah agar tidak melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan dana BOS, maka Tim Manajemen tingkat kabupaten/kota mengadakan sosialisasai minimal 2 (dua) kali dalam setahun. Dalam sosialisasi ini tim manajemen kabupaten/kota menjelaskan secara detail rambu-rambu dalam penyelenggaraan dana BOS, dan menjawab semua keraguan yang dilontarkan oleh pihak sekolah. Biasanya pihak sekolah yang masih ada keraguan tentang beberapa hal akan mendatangi tim manajemen kabupaten ke kantor Dinas Pendidikan. Untuk ini tim manajemen kabupaten/kota seyogyanya membuat posko pelayanan dana BOS, dan melayani semua keluhan mengenai dana BOS.

Dalam penyelenggaraan dana BOS di sekolah mulai dari perencanaan, penyusunan anggaran, penggunaan dana sampai kepada penyusunan laporan, tentu saja kepala sekolah tidak bekerja sendiri melainkan dengan persetujuan dari komite sekolah sebagai perwakilan dari masyarakat. Disamping itu sekolah juga wajib memasukkan salah seorang orang tua siswa sebagai anggota manajemen BOS di sekolah. Ini bertujuan untuk meminimalkan terjadi penyelewengan dana BOS. Namun sebagus-bagus rencana dan aturan yang dibuat pemerintah, tetap saja ada sebagian oknum penyelenggara satuan pendidikan yang mencoba memanfaatkan bantuan ini untuk memperkaya diri sendiri atau segelintir orang.

Untuk itu dalam penyelenggaraan Program BOS ini diperlukan monitoring dan pengawasan yang melekat baik secara internal maupun eksternal. Monitoring secara internal dilakukan oleh Manjemen BOS di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal ini tim monitoring ikut menyelesaikan masalah jika ditemukan permasalahan dalan pelaksanaan program BOS. Sedangkan secara eksternal dapat dilakukan oleh Balitbang atau lembaga independen lainnya yang kompeten.

Di Kabupaten Solok Selatan sendiri, walaupun secara umum penyelenggaraan program BOS bisa dikatakan sukses, namun masih juga ada temuan-temuan dari tim monitoring yang mengindikasikan kekeliruan pihak sekolah dalam penyelenggaraan dana BOS. Pada tahun 2007 bahkan salah seorang kepala sekolah harus menjalani proses hukum dalam tahanan kejaksaan akibat terbukti melakukan rekayasa terhadap laporan pertanggungjawaban dana BOS. Ini merupakan peringatan keras bagi penyelenggara-penyelenggara lain untuk tidak coba-coba berbuat tidak jujur dengan tujuan mempermudah pekerjaan ataupun untuk memperkaya diri sendiri.

Suksesnya penyelenggaraan program BOS di Kabupaten Solok Selatan baru merupakan indikasi bahwa pihak sekolah dapat mengurus, mencairkan serta mempertanggungjawabkan dana BOS sesuai tata tertib yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Sedangkan suksesnya Program BOS mempercepat program wajib belajar sembilan tahun tentunya perlu kajian lebih mendalam.

IV. PROGRAM BOS DALAM PERCEPATAN WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN, SUKSESKAH?

Jika kita mengaca kepada tujuan Program BOS yang pada intinya untuk membebaskan siswa miskin dari semua biaya pendidikan dan meringankan biaya siswa di sekolah swasta atau siswa yang mampu, maka indikasi keberhasilan program BOS adalah meningkatanya partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan. Ini ditunjukkan dengan peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) atau Angka Partisipasi Murni (APM). Bappenas (2010) dalam Laporan MDGs mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada APK dan APM SD dan SMP semenjak dilaksanakannya program BOS, sebagaimana gambar 1.

Menurut Kemdiknas (2010), dengan tercapainya APK SMP 98,11 pada tahun 2009 maka dapat dikatakan bahwa program wajib belajar sembilan tahun telah tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan. Masalahnya sekarang adalah terjadi disparitas antara daerah perkotaan dengan perdesaan. Dan APK SMP sendiri tidak hanya menghitung siswa pada usia SLTP namun juga siswa yang sebenarnya bukan usia SLTP lagi. Sedangkan APM mengabaikan siswa usia sekolah yang bersekolah pada jenjang lain.

Akan lebih baik rasanya bila indikator untuk keberhasilan ini ditambahkan dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang merupakan persentase siswa usia sekolah di jenjang manapun terhadap jumlah penduduk usia sekolah bersangkutan. Rumus APS adalah :

Di Kabupaten Solok Selatan, dengan keberhasilan penyelenggaraan program BOS ternyata belum mampu memenuhi target wajib belajar sembilan tahun jika ditinjau dari segi APK. BPPPMD Kab. Solok Selatan (2010) mencatat bahwa pada tahun 2009 APK SD sebesar 88% dan APK SLTP sebesar 59,80%. Sedangkan APM SD 72% dan SLTP 51%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Solok Selatan program wajib belajar 9 tahun belum tuntas karena masih banyak anak yang putus sekolah.

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan belum tuntasnya program wajib belajar 9 tahun di daerah ini, antara lain karena jarak lokasi sekolah yang jauh dari lokasi pemukiman penduduk; masih rendahnya tingkat kesadaran dari anak usia sekolah untuk bersekolah, rendahnya pemahaman anak dan orang tua tentang pentingnya bersekolah, kurangnya kesadaran dan motivasi dari orang tua anak, dan kemampuan ekonomi orang tua yang terbatas (BPPPMD Kab. Solok Selatan, 2010).

Semenjak dinaikkannya besaran dana BOS pada tahun 2009, maka dana BOS disamping mempertahankan APK juga harus berkontribusi besar dalam peningkatan mutu pendidikan dasar. Ini ditunjukkan dengan peningkatan persentase kelulusan, angka melanjutkan dan nilai rata-rata ujian akhir. Untuk itu indikator keberhasilan program BOS pada tahun-tahun selanjutnya mesti ditambah, bukan hanya APK dan APM atau APS tetapi juga persentase kelulusan, angka melanjutkan dan nilai ujian akhir.

Disamping keberhasilan dan kegagalan di atas, ada satu hal lagi yang tidak kalah penting diperhatikan dalam menilai sukses tidaknya penyelenggaraan Program BOS dan Wajib Belajar Sembilan Tahun, yaitu efisiensi penggunaan dana. Mesti dikaji lebih dalam lagi apakah layak pencapaian kemajuan pendidikan yang sedemikian dengan alokasi sebesar dana BOS. Bila ternyata dana BOS yang sedemikian besar hanya berkontribusi kecil terhadap kemajuan pendidikan, maka haruslah dikaji ulang lagi aturan penggunaan dana serta ditingkatkan sosialisasi, monitoring dan pengawasan penyelenggaraannya.

V. PENUTUP

Program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan sebagai antisipasi terhadap era globalisasi mengharuskan setiap penduduk usia 6 – 15 tahun mengikuti pendidikan di sekolah formil dengan dibiayai oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Program BOS dilahirkan guna menyukseskan program wajib belajar sembilan tahun untuk menghindari terbebaninya orang tua siswa dengan biaya pendidikan anak di tingkat SD dan SLTP.

Dalam pelaksanaan program BOS melibatkan pemerintah, pihak sekolah dan masyarakat. Peningkatan besaran dana BOS dari tahun ke tahun diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dasar sebagaimana tuntutan MDGs 2015.

Pada tingkat pusat tercatat bahwa Program BOS telah berhasil menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun. Namun tidak demikian dengan kabupaten Solok Selatan, dibutuhkan kerja keras lagi untuk menuntaskannya.

Untuk lebih efektifnya pelaksanaan Program BOS, mesti dikaji lagi aturan penggunaan dana BOS sehingga bisa dibelanjakan secara efisien dan menghasilkan kemajuan yang signifikan. Indikator keberhasilan program wajib belajar ada baiknya diperhalus dengan memasukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS), angka kelulusan, angka melanjutkan dan nilai ujian akhir.

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas (2010), “Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010”, Bappenas, Jakarta

BPPPMD Kabupaten Solok Selatan (2010), “Laporan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten solok Selatan 2005 – 2025”, kerjasama dengan PKSBE UNP, Padang

Elfindri, PhD (2001), “Ekonomi Sumberdaya Manusia”, Penerbit Universitas Andalas, Padang

Elfindri, Prof, Dr, dkk (2008), “Strategi Sukses Membangun Daerah”, Penerbit Gorga Media

Fattah, Nanang, Dr (2000), “Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung

Kemdiknas (2010), “Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah”, Kemdiknas, Jakarta

Kemdiknas (2010), “Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010 – 2014”, Kemdiknas, Jakarta

Kintamani, Ida (2008), “Analisis Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 072 Mei 2008

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang “Pendanaan Pendidikan”

Sunarti, Iin (2007), “Sistem Manajemen Pembiayaan Pendidikan”, Buletin Equilibrium Vol 3, Juli-Desember 2007

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional”



[1] Paper sebagai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Tailor Made Program Pascasarjana Universitas Andalas Tahun, Januari 2011

[2] Mahasiswa Program Studi Perencanaan Pembangunan Tailor Made Program Pascasarjana Universitas Andalas, Nomor BP 10 212 06 040